KRISAN
Oleh: Lilis Gustini, S.Pd.
Seumur hidup, belum pernah aku benar-benar menikmati sore seperti ini. Menyusuri dengan seksama setiap jengkal halaman rumah, yang padahal tak seberapa luasnya. Menyirami setiap batang pepohonan yang tumbuh di sana, dengan berember-ember air yang kuambil dari kran di samping rumah. Aku baru menyadari, ternyata cukup banyak juga tanaman yang membutuhkan perhatian.
Ada serumpunan ilalang di sudut kanan halamanku. Bunganya sedang banyak berkembang, melengkung ke satu arah yang sama, bergerak indah diterpa angin sore. Warnanya sedikit keemasan karena cahaya matahari dari arah barat. Di sebelahnya, pohon jambu setinggi jendela sedang berbunga. Bunganya putih kekuningan, menjanjikan harapan akan buah-buah yang sehat dan manis ketika dipetik nanti. Ibu bilang, jenis jambu biji ini malah tak memiliki biji sama sekali. Kalau membeli di supermarket harganya lumayan mahal.
Di bawah jendela kamar ada beberapa jenis mawar kesayangan ibu. Ada mawar merah, mawar jingga, putih, hijau, ungu, dan bunga mawar dengan motif bercak paduan warna pink dan putih. Cantik. Semua dalam ukuran mini, lebih kerdil dari dari ukuran pohon mawar pada umumnya. Ada dua kelopak mawar yang masih mekar, warna maroon. Yang putih dan jingga tampak masih kuncup. Yang ungu baru saja gugur. Sementara mawar hijau baru saja merekah. Hanya satu tangkai, sama seperti si ungu. Jenis mawar yang agak langka. Entah dari mana ibu mendapatkannya.
Aku mengambil seember lagi air untuk menyiram beberapa pohon daun merah yang berjejer di sepanjang pagar rumah. Tingginya sudah sedadaku. Pucuk-pucuk merahnya merona disapu cahaya matahari sore. Beberapa titik air masih bertahan di permukaan daun-daunnya, memberi kesan segar tak terperikan. Aku benar-benar menikmati suasana ini, sambil menikmati rasa yang tak pernah kurasakan sebelumnya. Benih-benih penyesalan yang diam-diam tumbuh dalam jiwa. Mengapa tak dari dulu kutemani ibu menyapa tetumbuhan ini sambil mencecapi keindahannya?
Pohon-pohon tin yang sedang berbuah lebat aku pandangi. Kuperhatikan kalau-kalau ada yang sudah bisa dipetik. Kata ibu, jika buahnya sudah merunduk dan tidak keras, itu tandanya sudah enak untuk dimakan. Ibu juga pernah bilang, jenis pohon ini berbeda-beda, dan masing-masing punya kekhasan warna, bentuk, dan rasa. Aku lupa nama semua jenisnya. Tapi aku ingat, ibu bilang yang paling manis adalah jenis green jordan. Aku senyum sendiri mengingat bagaimana ibu menyuapiku buah tin yang paling manis itu. Terngiang suara beliau melafadzkan ayat Wat-tiini waz-zaituun, wa thuurisiniin, wa haazal baladil amiin. "Demi (buah) Tin dan (buah) Zaitun.demi Gunung Sinai. dan demi negeri (Mekah) yang aman ini."
Pandanganku lalu hinggap pada serumpunan bunga krisan berwarna putih. Ya, krisan. Ibu menanamnya persis di depan jendela kamarnya. Berjejer rapi dengan pancang-pancang bambu seukuran jari yang panjangnya sekitar 50 sentimeter. Dengan seember air aku mendekatinya. Kupandangi bunga-bunganya yang putih bersih. Krisan, jika berbunga betapa indahnya. Puluhan kelopak mekar bersamaan dengan formasi yang rangkai, dan akan tetap utuh hingga satu bulan lamanya. Ibu sering memandanginya dari dalam kamar, seakan tak ada bosannya. Dan sore ini, aku memandanginya dengan perasaan yang muskil untuk digambarkan.
Krisan kesayangan ibu ini mulai mekar lima hari lalu, bertepatan dengan hari ulang tahun ibu. Ibu tampak bahagia ketika pagi itu melihat krisannya bermekaran, seakan mendapat hadiah yang istimewa. Ibu menyiramnya sambil bersenandung. Senandung yang jarang terdengar. Aku menyimpulkan bahwa ibu memang sedang benar-benar bahagia. Kulihat beliau memotretnya dengan kamera HP. Ibu memang hobi memotret bunga-bunga dan pemandangan. Hasilnya bagus-bagus meski hanya mengandalkan kamera seadanya. Mungkin karena beliau melakukannya dengan sepenuh hati. Ratusan bahkan ribuan foto bunga menjadi koleksinya. Beberapa di antaranya dicetak dalm ukuran besar, diberi pigura, dan dipajang di beberapa sudut dinding rumah.
Aku masih memandangi bunga krisan itu dengan perasaan ganjil. Bukan hanya penyesalan, namun rasa yang tak tertahankan. Butiran-butiran air yang masih tersisa di kelopak dan dedaunan menjadi kabur dalam pandanganku. Tak terasa kelopak mataku ikut tergenang juga.
“Besok, kamu petikkan krisan ini untuk Ibu, ya! Dan jangan lupa, disiram setiap pagi dan sore.” Begitu pesan ibu tiga hari lalu. Pesan yang membuatku tak mengerti, kenapa krisan itu harus kupetik. Sedang selama ini ibu selalu membiarkannya tetap bertahan di dahannya, hingga layu dan kering dengan sendirinya. Kini aku paham, pesan itu adalah pesan terakhir ibu. Pesan yang takkan pernah kudengar lagi. ***
0 Komentar